Langsung ke konten utama

Tentang Sesosok Hawa


Tentang Sesosok Hawa 


Saya seorang manusia sedikit suka gelap, sunyi, hening, egois, individual, dan tidak suka mengumbar urusan makhluk lain. Saya terlahir dari dua terang yang megah. Saya mempunyai empat saudara, tidak ada saudari dalam celah ikatan kami. Itulah makanya saya sedikit kaku berhadapan dengan para hawa. Hanya mama yang seringkali menjelaskan pada kami tentang bagaimana para hawa dalam kehidupan. Berbicara tentang hawa dalam kehidupan, sama halnya mengenal luka yang ternganga lebar dalam senyap jiwa yang lugu. Dalam beberapa waktu terakhir, sebelum 20 tahun merangkul usiaku, aku mengenal dekat dengan seorang hawa. Saya izin sedikit, menceritakan pertemuan kami pertama kali sampai saat ini, kini!!

***

Waktu itu, tidak tau pasti tanggalnya intinya bulan 08-2022 yang lalu. Kami mengikuti kegiatan di suatu tempat, tepat  di pinggir laut luas yang seringkali orang menjatuhkan air mata, saat dirinya tiba-tiba didekap perpisahan. Kota itu sedikit elok, seelok hawa yang aku kenal itu. Kami pun mengikuti kegiatan dengan penuh bahagia. Ada yang bersama teman, sahabat, pacar orang tua, keluarga besar, dan masih banyak lagi. Di tengah hiruk pikuk kegaduhan itu, aku mendapati diriku sendiri menjatuhkan butiran kristal dari tempat, pertama kali aku melihat dengan jelas dunia. Aku begitu sepi di tengah kegaduhan itu, hanya suara nurani bergeming tiada henti. Tiba-tiba di tengah situasi itu, aku melihat sesosok perempuan berambut lurus, bermata sipit, hidung sedikit tenggelam, bertubuh sedikit ramping dan tidak terlalu tinggi. Pokoknya lucu, sungguh lucu. Dirinya begitu terlihat sempurna, sungguh polos ketika dilihat dengan hati, bukan dengan mata yang kotor. Dia mengenakan baju tari berwarna merah berbalut kain putih yang memeluk pundaknya. Aku yang berpijak tak begitu jauh darinya ingin sekali mendekati hawa tersebut. Tapi aku tidak mempunyai keberanian. Aku tak mempunyai kata-kata jika terlalu dekat dengan hawa. Itu adalah pengalaman pertama kali aku menjumpai hawa dengan hati berdebar kencang. Malam itu, aku bertanya tanpa henti perihal hawa itu. "Kenapa ya.. aku belum pernah melihatnya selama ini. Bukankah ia satu sekolah denganku? Ahhh.. tidak mungkin! apakah aku jatuh cinta saat ini? Aku belum pernah seperti ini sebelumnya" gumamku dalam hati. "Aku harus menghampirinya. Aku harus berani!" batinku lagi. Dengan sedikit keberanian yang kukumpul setengah mati beberapa detik yang lalu aku pun menghampirinya. "He..hey" sapaku. Aku tak mempedulikan orang-orang di sekitarnya. "Heyy" tukasnya sembari mengukir senyuman bak pelangi. Sungguh manis, aku jadi gugup. Jika dirinya gula, mungkin saat ini aku sudah mati karena diabetes. Untung saja bukan hahahah. Setelah berbasa-basi sedikit lama, akhirnya kami mulai mengenal satu sama lain. Tak butuh waktu lama setelah itu, ia mengajakku pergi jajan di seberang jalan dekat tempat kami berjumpa, sungguh ajaib bukan? Saya kira Tuhan hadir di sana saat itu bersamaku. "Mau minum apa?" Tanyanya. "Terserah kamu saja, kamu maunya?" Balasku sedikit terlihat datar, padahal jiwa terasa berbeda. Sungguh, malam ini aku bahagia sekali. Kesedihan rupanya sudah terlempar jauh karena kehadiran seorang hawa itu. "Bagaimana kalo pop ice saja" tukasnya. "Ohh boleh-boleh" balasku. Setelah selesai menerima pesanan aku langsung bayar. "Ehhh jangan.. pake ini saja. Tadikan yang pesan saya" ia menyodorkan uang lima puluh ribu ke penjual sambil melihat ke arahku. "Sudah.. pake ini saja" aku mengambil uang itu, lalu memberi kepadanya lagi. Setelah selesai membayar pesanan aku mengajaknya duduk di tribun dekat lapangan di seberang jalan. Malam itu kami bercerita banyak hal. Termasuk tentang diri kami sendiri. Jauh di lubuk hati yang paling dalam, aku menyadari bahwa Tuhan betul-betul baik. Ia menghadirkan orang yang tepat di saat kita lelah. Meskipun saat itu, pundaknya belum resmi untuk menjadi tempatku bersandar. Aku percaya satu hal, tidak ada yang tidak mungkin jika kita memintanya penuh iman yang bersih. Dan mungkin, suatu hari nanti, si hawa yang lucu menggemaskan ini menyediakan pundaknya untuk menjadi tempatku bersandar dan akupun menemukan kembali jalan pulang dari segala lelah yang mendekap. Ketika sedang asyik-asyiknya memecahkan bekunya waktu bersama hawa itu. Tiba-tiba seorang adik kelas menghampiri kami. "Kak, sekarang saatnya pulang. Teman-teman yang lain sudah menunggu mobil untuk pulang di dekat pertigaan. Semuanya jalan kaki menuju ke sana. Sebaiknya kita semua pulang, entar lagi mobil pasti datang jemput" kata adik tersebut. "Ohhh siap, kami pasti menyusul mereka. Kalau boleh tau, apakah perempuan dengan laki-laki satu mobil"? Tanyaku pada anak tersebut. "Tidak kak, perempuan dengan mobil yang lain. Mereka diantar pulang duluan, semuanya tunggu di dekat pertigaan tempat masuk ke sini kak" jawabnya. "Kak saya duluan yahh, rupanya mobil sudah di depan" kata adik itu lagi, lalu perlahan ia meninggalkan kami. Setelah anak itu pergi, kami pun menyusul teman-teman yang lain menuju tempat yang sudah ditentukan tadi. Selama perjalanan kami tak berbicara banyak hal. Di samping jalan, ketika hendak menyebrang, aku sontak memegang tangannya. Aku takut terjadi yang bukan-bukan padanya. Sembari menahan beberapa kendaraan yang mau lewat aku memegang tangannya, lalu menuntunnya sampai betul-betul tiba di seberang jalan. Ketika sampai, aku sadar tanganku dan tangannya masih melekat erat. Aku merasakan sesuatu yang lain, dada kembali terasa tak normal. Ada sesuatu yang aneh di sana, tidak seperti biasanya. Pelan-pelan ratio dan hati kembali berperang. Ratio mengatakan "kenapa kau melakukan itu, kau belum tahu tentangnya. Tadi itu hanya sedetik baginya mengenal kamu. Jangan terlalu optimis! Lepas tangannya sekarang, lepas!!" Di satu sisi, hati berkata lain, "jangan pedulikan sobat, kamu berhak untuk ini. Bukankah waktu telah merestui kamu bertemu, meskipun secuil detik. Kamu berhak selagi semesta menyetujui pertemuan ini" aku lebih memilih hati, apalagi tangan kami sepertinya terkunci. Tak ada tanda-tanda saling melepaskan. Tak ada suara lagi setelah saya memilih. Hening sekali, sampai-sampai kami tiba di tempat tujuan. Benar, waktu memang tidak terasa ketika kita sedang merasakan bahagia, waktu tidak terasa berlalu ketika kita sedang mengisinya bersama orang yang kita anggap penting. Kami akhirnya melepaskan tangan yang tadi terasa erat menyatu ketika tiba di sini. Untungnya mobil yang datang jemput sudah berlalu pergi untuk sesi penjemputan yang pertama. Jadi masih ada waktu untuk berdua dengannya meski sedikit. Saya sepakat dengan diri sendiri menemani sesosok hawa cantik ini sampai mobil untuk penjemputan kedua datang. Setelah sekian lama menunggu akhirnya datang juga. Ia pun pamit pergi kepadaku. Aku melihatnya sekilas sesudah ia duduk di dalam mobil tak berdinding itu sebelum berlalu pergi. Ia melihat ke arahku. Mata kami bertemu satu sama lain. Ada kerinduan untuk bertemu kembali di situ. Ada berjuta harapan yang di penggal untuk kembali bersama di situ. Setelah deru suara mesin mobil terdengar, dan mulai berjalan perlahan, ia menundukkan kepalanya sesekali mengukir senyum penuh warna di matanya itu kepadaku. Aku pun balas menundukkan kepala lalu senyum, tanda aku merestui kepergiannya saat ini. Aku tak berhenti menatapnya sampai mobil itu benar-benar tak kulihat lagi. Setelah kepergiannya, aku berharap supaya semesta tetap mengizinkan kami bertemu di waktu yang lain. Aku ingin pertemuan itu kembali terjadi kapanpun. Meski harus menunggu bertahun-tahun, tidak apa-apa aku akan bertahan menunggunya. Setelah melewati malam itu, aku tetap menunggu si hawa terlihat lagi. Dan terbukti. Tepat pada hari Jum'at, 19 Agustus 2022, aku jadian dengannya. Dan uniknya, aku mengungkapkan semuanya itu pada dirinya tepat di depan Kapela. Aku percaya bahwa ada campur tangan Tuhan di balik peristiwa bersejarah ini hahahahah, aku bersyukur sekali, setidaknya aku memilih tempat yang tepat untuk ini. Tepat hari Jum'at, 19 Agustus 2022 aku resmi berpacaran dengannya. Hari itu, aku bahagia sekali tidak seperti biasanya. Setelah pacaran kami memulai hari dengan sedikit berbeda. Aku sering mengajaknya pulang bersama menuju Kapela seusai kegiatan di sekolah. Antara sekolah dengan Kapela memang jaraknya mungkin lima puluh meter saja, tapi cinta kami tidak sesingkat dan semiskin waktu pulang itu. Saya tidak bisa menjelaskannya seperti apa cinta dan sayang kami masing-masing. Itu persoalan matematis, dalam kaitannya dengan kalkulasi. Cinta tidak bisa diukur secara matematis. Saya percaya kita semua pernah merasakan dan mengalami itu bukan? 


(Beberapa bulan kemudian)..........


Setelah melewati hari dengan kesibukan yang penuh. Tanpa terasa waktu kami untuk bersama terhitung beberapa hari lagi. Aku mulai muak dengan situasi yang kini datang juga. Aku sangat benci perpisahan. Aku sangat benci jika ditinggalkan. Dan saat ini, hari perpisahan itu tiba. Aku melihatnya sangat bahagia bisa lulus dari masa istimewa ini, masa SMA. Masa dimana ia bercengkrama dengan putih abu. Masa dimana ia di uji untuk menjadi mahasiswa suatu hari nanti, masa di mana ia mengenal laki-laki yang sedikit pengecut, cuek, egois, nakal dan biadab mungkin. Semoga saja tidak seperti itu kaca matanya. Aku sungguh minta maaf, jika aku pernah menyakitinya dengan segala kebodohanku itu. Kami semua segenap siswa/i di lembaga ini termasuk para pembina guru dan pegawai lainnya hadir di tempat ini, untuk merayakan kelulusan kelas XII sekaligus acara perpisahan dengan mereka. Aku mulai meratapi diri dengan kesedihan yang menindas. Kenapa harus ada perpisahan dalam kehidupan ini? Bukankah Tuhan menghadirkan kita untuk merajut kehidupan bersama-sama? Aku dengan segala cara menguatkan diri agar tidak terlihat sedih di depan semuanya, termasuk di depan perempuan yang aku sayang dalam-dalam dan cinta setengah mati ini. Tibalah akhirnya acara jabat tangan sekaligus pelukan perpisahan dimulai. Dan pertama-tama para guru, diikuti oleh segenap siswa/i. Aku tak kuat berhadapan dengan perpisahan, sebab aku sudah terlampau nyaman dengan kebersamaan. Giliran kami pun dipersilahkan. Aku berharap cepat-cepat bertemu dia. Setelah melewati sekian banyak orang, akhirnya ketemu juga. Aku langsung memeluk dirinya. Aku sempat mengeluarkan air mata, dan tentunya tidak terlihat olehnya. Jika ketahuan air mata terjatuh, pasti dianggap lemah, aku tidak mau dikatakan begitu. Meskipun Tuhannnn... sungguh aku tidak kuat. Aku memeluknya eraaaat sekali, aku tidak mau kehilangan, apalagi jika itu adalah dia yang aku cintai. Namun, aku harus mengerti ini untuk masa depannya. Seego-egonya saya, saya tetap peduli jika itu berkaitan dengan mimpi ataupun cita-cita seseorang. Aku merasa lebih baik ketika berpelukan dengannya. Meskipun untuk saat ini saja, tidak tau setelah ini bagaimana. Setelah merayakan perpisahan itu, aku mulai sadar ternyata setelah perjumpaan ada perpisahan, dan kita mesti merayakan perpisahan itu bukan dengan cara membakar segala kenangan bersamanya. Melainkan merayakannya penuh lapang dada dan tawa yang padat. Sore harinya, aku mendengar mereka langsung pergi dari tempat ini. Aku mati-matian berusaha supaya frater mengizinkanku menggunakan hp. Dengan alasan panjang lebar, akhirnya frater izin juga. Aku mengirim pesan untuknya lewat WA. Untungnya dia tidak langsung pergi. "Esok baru saya pulang, saya pasti kabar kalau pulang" katanya lewat pesan singkat di WA. Tibalah esok harinya, kebetulan hari minggu jadi kami diizinkan untuk pegang hp. Setelah lama menunggu pesan darinya. Aku memutuskan untuk ke kamar belakang. Aku membersihkan baju-baju yang kotor. Ternyata lumayan banyak juga, hampir 1 jam aku menyelesaikan kegiatan tersebut. Selesai membersihkan pakaian, aku memutuskan untuk langsung menjemurnya saja "biar cepat kering" gumamku dalam hati. Setelah selesai, aku langsung mengambil hp. Di sana, aku melihat hampir 10 kali notifikasi panggilan tak terjawab di WA. Aku langsung mengirimi pesan padanya. "Heyyy tadi telpon?" Tanyaku. Pesan yang ku kirim tak kunjung di balas, aku memutuskan untuk pergi ke garasi saja. Siapa tahu dia di sana menungguku. Ternyata tidak. Sampai di sana aku tidak melihatnya. Hanya beberapa orang teman angkatanku di situ. Aku tanya pada mereka, perihal dirinya. Aku berharap menemukan sosoknya di situ, tapi sejauh mata memandang, sosoknya tidak terlihat secuilpun di sana. "Tadi kakaknya ke sini kak. Beberapa menit yang lalu ia pergi sama bapaknya. Bapaknya datang jemput kak" kata Bela teman angkatanku. Hatiku berkecamuk. Aku merasa lemah. Kenapa secepat ini. Tiba-tiba muncul notifikasi. Aku langsung mengeceknya. "Sorry.. saya sudah di jalan. Tadinya sempat tunggu kamu di garansi. Saya telpon beberapa kali lewat WA. Tak kunjung angkat. Setelah telpon untuk keberapa kalinya, ada kau punya teman yang jawab, dia bilang kau tidak ada di asrama" balasnya. "Ia ka? saya tadi bersih pakaian. Sorry, tadi saya tida sempat kasi tau. Sekali lagi sorry. Terus siapa tadi yang angkat teleponnya?" Jawabku. "Tidak apa-apa. Tau lagi. Saya tidak tau siapa yang angkat. Pokoknya kau punya teman tadi" balasnya.
Beberapa hari setelah itu baru saya tau, ternyata temanku sendiri yang angkat teleponnya. Aku marah sekali dengannya. "Kenapa kau tidak lihat ke belakang, kenapa ceroboh sekali. Tidak hilang-hilang penyakit ceroboh mu itu" kataku penuh kesal. "Maaf bro, saya pikir kau keluar. Makanya saya bilang begitu" jawabannya. "Harusnya lihat dulu!  jangan langsung begitu" balasku sedikit marah, nada suara mulai tinggi. Temanku hanya diam, dia mengerti jika saya sedang begini. Aku sangat menyesal setelah kejadian itu. Aku kecewa dengan temanku ini. "Kenapa tidak lihat dulu???" gerutuku dalam hati.
Aku membuka hp lagi, aku selalu menanyakan dirinya sepanjang hari itu sampai ia betul-betul tiba di rumah dengan selamat. Setelah lama chat an, waktu penggunaan hp hampir habis, aku mengirim pesan  terakhir kali padanya untuk minggu ini "rucuk.. selamat berlibur, selamat bersenang-senang. Semoga kau baik-baik saja, semoga semakin menggemaskan ketika bertemu lagi hehehe. Saya sayang kau. Semoga kau juga begitu. Saya kumpul hp sekarang. Jaga diri baik-baik". Usai begitu, aku langsung pergi kumpul hp di kamarnya frater. Aku selalu berharap cepat-cepat libur, biar ketemu lagi dengannya. Tidak ada malam tanpa mendoakannya, tidak ada hari tanpa merindukan sosoknya di sini. Itu sudah menjadi kebiasaanku ketika berhadapan dengan jarak. Biar Tuhan menjaganya, biar Tuhan mempertemukan kami kembali suatu hari nanti, kapanpun dimanapun itu. Aku tak peduli...


(Beberapa bulan kemudian).....



Setelah melewati masa ujian, akhirnya hari ini kami terima raport sekaligus hari liburan. Aku ingin sekali cepat-cepat pulang ke rumah. Aku rindu mama, papa serta ketiga adikku. Dan tentunya aku sangat merindukan sosok hawa itu. Rindu yang mengepul itu membuatku tak sabar segera pulang menemui orang-orang yang ku sayang setengah mati. Selesai penerimaan raport, aku langsung mengangkat barang-barang yang tadi malam aku siap untuk kubawa pulang hari ini. Aku memasukkan semuanya itu ke dalam bagasi mobil. Setelah itu, aku langsung pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan, aku membayangkan banyak hal. Salah satunya membayangkan si hawa itu. Aku ingin cepat-cepat ketemu. Aku tertidur cukup lama setelah membayangkan banyak hal dalam perjalanan itu. Tiba-tiba ada yang memukul pundak ku "bro kita sudah sampai di rumah" kata temanku. Aku langsung bangun dan keluar dari mobil diikuti temanku. Setelah selesai membayar uang perjalanan. Aku langsung menuju rumah. Mama, bapa dan adikku sudah menunggu kedatanganku. Mereka langsung menyambutku penuh bahagia. Mama memeluk erat diriku, diikuti ketiga adikku itu dan terakhir ayah. Aku membalas pelukan itu penuh haru, akhirnya rinduku terobati juga, setelah sekian lama tak saling berjumpa. Sebelum makan malam mulai, tidak lupa mama menyuruhku mandi terlebih dahulu. Selesai mandi, aku langsung menuju ruang makan. Di sana terlihat ayah, mama dan ketiga adikku sudah menunggu. Aku langsung mencium tangan bapa dan mama lalu mencium kening ketiga adikku. Kami pun langsung makan. Selesai makan, kamipun segera tidur. Esoknya, saya bangun pagi sekali. Aku langsung membuka hp. Aku lalu mengirim pesan pada hawa yang lucu menggemaskan Itu. "Heyyy, selamat pagi. Saya di sini sekarang. Semoga keadaan kamu baik-baik saja. Entar sore aku ke rumah. Bolehh?" Setelah mengirim pesan aku langsung beranjak ke ruang tengah. Di sana aku melihat bunda sedang menyiapkan sarapan pagi. "Selamat pagi mama" ucapku. "Sayang, selamat pagi juga. Kenapa bangun cepat? Tidak cape sayang?" Balas mama, "tidak ma.. Aku selalu kuat seperti ayah" balasku. Mama tersenyum. Rupanya mama sudah lama kangen seperti ini. Sungguh.... selama ini, aku rindu makan masakan bunda. Masakan bunda selalu terenak. Bumbunya tidak seperti di restoran-restoran mahal. Bumbunya hanya sayang semata dan cinta yang meluap-luap. 

(Beberapa jam kemudian)....


Tidak terasa, matahari mulai terbenam sebentar lagi. Aku harus menepati janjiku padanya. Aku langsung mempersiapkan diri untuk bertemu dengannya sore ini. Setelah berpamitan dengan mama dan bapa. Aku langsung menstater motor tua milik bapak. Tidak lupa "ma.. minta uang ma. Buat beli bensin, kemarin usai bayar ongkos tumpangan uang ku habis" pintaku pada mama dengan wajah sedikit memelas. "selalu saja begitu sebelum pesiar. Tunggu mama ambil" kata mama seraya senyum penuh pengertian denganku. Mama sudah tahu perihal hawa yang sedang menjalin hubungan istimewa denganku itu. Setelah mama muncul depan pintu, ia langsung menyodorkan uang itu. "Terimakasih ma.. saya pamit ya ma" ucapku pada mama, seraya mencium keningnya. Aku langsung pergi setelah itu. Sebelum tiba di gang terakhir menuju rumahnya. Aku mengontaknya terlebih dahulu. "Heyy sekarang aku sudah dekat rumah. Boleh tunggu depan pintu?" tanyaku. "ohhh oke-oke saya tunggu di depan yah" jawabnya. Setelah itu, tanpa pikir panjang, aku langsung ngebut. Dan akhirnya tiba juga. Masih seperti kemarin, pemilik senyum menggemaskan itu sudah berada di depan mata. "Sudah tunggu dari tadi" tanyaku. "Tidak juga, setelah kau chat, aku langsung ke sini" jawabnya. Setelah itu, dia mengajakku masuk. "Tunggu yahh" ucapnya. Setelah menunggu beberapa menit. Dia muncul lagi. Dia membawa minuman. Kopi dan teh. Kopi untuk saya, sedangkan teh untuk dirinya sendiri. Mungkin dia tidak suka yang pahit, itu makanya lebih memilih teh daripada kopi. Berbanding terbalik denganku. Setiap kali aku mengawali sesuatu, pasti kopi selalu saja menjadi membukanya "Silahkan diminum" ucapnya. "Ia.." balasku. Aku merasakan seperti pertama kali kami bertemu. Aku sedikit merasa gugup nan canggung. Apalagi ayahnya, ada saat itu. Setelah berbasa-basi sedikit lama, ayahnya pun minggat dari situ. Tibalah saatnya untuk berdua lagi. "Kita nonton pameran ini malam yah" pintaku. "Ohh ia ya, malam ini pameran, tunggu... saya minta izin dulu" jawabanya. "Mama tidak izin" katanya dengan tampang muka yang sedikit kesal. "Ya sudah. Biarkan saja. Esokkan bisa, esok kita keluar yahh. Aku sudah lama sekali rindu jalan bareng" kataku padanya. "Aku juga, aku merasa seperti itu" balasnya sambil menatap tepat mataku. "Tuhaaan... tatapan ini. Sungguh.. aku betul-betul mengingatnya dengan jelas. Aku tak pernah melupakannya sedikitpun " ucapku dalam hati. Aku merasa bahagia. Rinduku terobati semenjak perjumpaan sore itu. Tak terasa waktu sudah berlarut menuju malam. Gelap akhirnya jatuh pada semesta. "Aku pamit yah, sudah malam. Kamu langsung istirahat saja yah. Esok kita jalan-jalan. Jangan lupa minta izin pada om sama Tanta esok". "Om, Tanta saya pamit pulang" pamitku pada kedua orang tuanya. "Heyyy jangan pergi dulu nak.. kita makan dulu" jawab Tanta dari dapur sedikit keras. "Biar tanta, sudah malam ni. Biar esok saja. Mama pasti menunggu di rumah". "Baik kalo begitu, hati-hati nak" balas tanta. "Ia tanta, saya pamit". Setelah pamit aku langsung pergi. Dia, si hawa mengantarku sampai depan pintu. "Hati-hati yah, esok kita jalan-jalan betulan kan?" Tanyanya. "Ia saya usahakan. Tapi saya tidak janji. Saya takut jika mengingkari" balasku. "Esok saya tunggu" balasnya. Setelah itu saya langsung pulang. Malam itu setelah pulang bertemu dengannya, aku tertidur nyenyak sekali. "Semoga pagi cepat-cepat kembali" batinku sebelum malam benar-benar menenggelamkanku pada gelapnya. Keesokan harinya, setelah sarapan aku langsung berangkat menuju rumahnya. Sampai di situ. Ia sudah tunggu. Rupanya ia sudah lama mempersiapkan diri untuk kebersamaan hari ini. "langsung jalan? Tida mau masuk dulu" tukasnya. "Tadi sudah izin belum?" Tanyaku. "Sudahhh. Mama sama bapa izin" jawanya. "Kalo begitu langsung jalan saja yahhh" balasku. "okeyy" sahutnya. Pertama-tama sebelum berjalan lebih jauh, aku mengajaknya untuk mengisi bahan bakar minyak di tubuh motor tua ini, biar tenagahnya tetap utuh menumpangi  tuannya bersama hawa cantik itu. Selesai mengisi bahan bakar, kami melanjutkan perjalanan. "Kemana kak?" Tanyaku sedikit tertawa. "Hahahah ke mana saja, yang penting dengan kamu" balasnya sedikit ketawa juga. "hahaha yang benar kak" jawabku. Kami sepakat mengunjungi kopi Didi saat itu. Sampai di sana, dia langsung memesan minuman. Setelah itu, ia menghampiriku. Kami menunggu pesanan tersebut dengan cerita yang banyak. Kami saling mengungkapkan isi hati kami masing-masing. Akhirnya pesanan itu datang juga. Kami langsung mengambilnya lalu masing-masing menyeruput minuman tersebut. Hari itu, menjadi hari yang tak pernah usai dari memori. Aku tak akan melupakannya. Mungkin, aku terlalu mencintaimu sebuta itu. Sampai-sampai, aku merelakan segala yang akrab padaku berlalu hanya untuk mendengarkan kabar darimu. Aku bukan laki-laki seperti ini sebelum bertemu dengannya. Tidakkk sama sekali. Jika kamu bilang aku bucin, labil, alay mungkin? Tidak apa-apa, toh aku tetap di sini. Aku tetap stay sampai saat ini, meskipun rupamu tidak terlihat lagi. Aku tetap memilih ini. Bahkan jika nanti kamu betul-betul pergi, tanpa pamit sekalipun. Aku tetap memaklumi selagi kau memutuskan untuk kembali ke sini, di hati ini. Waktu sudah menunjukkan pukul 15:30. Aku harus pulang sekarang. Hari ini, aku bersama keluarga pergi ke rumah kakek, ada acara penting di sana. Sebelum itu, aku mengantar sang hawa cantik itu terlebih dahulu. "Kita pulang yahhh, hari ini aku ke rumah kakek. Ada acara penting bersama keluarga besar di sana. Kami semua ikut, saya antar kamu dulu yahh" ucapku pada hawa itu. "Ohhh oke-oke, jam berapa ke sana?" Tanyanya, "kata ayah setengah lima. Sebentar lagi. Kita pulang yah?" Balasku. "Saya belum ke rumah dulu. Saya ke rumah teman sedikit. Tadi sudah janjian" sahut hawa cantik itu. "Kalau begitu saya antar kamu dulu. Rumahnya dekat dari sini?" Tanyaku, "ia dekat. Rumahnya di atas. Sebelah agen gunung mas, sebelah kanan" balasnya, "ohhh padahal dekat saja. Saya antar kamu dulu" kataku. Setelah itu, aku langsung mengantarnya. Sepanjang jalan, tidak banyak kata terucap. Masing-masing mulai berimajinasi. Aku bertemu hari ini dengannya untuk terakhir kali mungkin. Sebab, beberapa Minggu lagi ia akan berangkat menuju kota pilihannya untuk memulai tahap baru dalam merajut masa depan. Aku kembali hening. Hati dan ratio kembali berperang di dalam raga. Kata ratio: "apakah kau tetap kuat, mencintainya dalam jarak yang terlalu? Apakah dia masih memilihmu sebagai teman istimewanya. Ketika dia sudah di tempat baru, dan mulai mengenal orang baru. Kamu pasti kembali berdamai dengan kenangan. Kamu akan kembali di cekik memori tentang hari-hari kemarin, mungkin hari ini juga akan membunuhmu esok atau lusa". Di satu sisi, hati berkata lain: "kamu harus memahami betul apa itu cinta. Cinta tidak mempunyai alasan ketika kamu bertanya kenapa? Cinta tidak mengenal jarak, sebab cinta dirasakan dalam hati. Bukan sekedar dilihat dengan mata. Cinta yang mempersoalkan jarak, sebenarnya cinta yang tidak kuat. Cintanya hanya sebatas di mata. Tidak dengan hati. Percayalah kamu pasti menang jika semuanya bersama hati". Aku sedikit tenang, setelah mendengar hati berbicara. Dan seperti biasa, aku pasti berada di jalannya. Ia menjadi motivator terbaik dalam hari-hariku. Setelah kami tiba tepat di depan rumah temannya itu, aku langsung turun dari motor dan mengucapkan kata pamit padanya. Kami akhirnya berpelukan saat itu. Seolah-olah hanya kami yang ada di sana. Kami tidak menghiraukan sekeliling jalan yang cukup ramai. Beberapa orang memandang kami sambil tersenyum. Sama sekali, tidak peduli tetap bertahan. Sampai akhirnya, kami melepaskan pelukan itu. Peluk terakhir kali. Setelah temannya datang, dia langsung mengikuti temannya itu. "Ini terakhir kalinya kita bertemu. Ini terakhir kalinya kita berpelukan. Semoga Tuhan mengizinkan seperti ini lagi suatu hari nanti. Jangan lupakan semua ini sampai tiba di tempat tujuanmu. Rindu, sayang dan cintaku selalu dan tak pernah berujung untukmu". Gumamku. Setelah itu, aku langsung pulang. Aku kembali berdamai dengan masa lalu, kenangan tentang hari-hari kemarin, seperti yang ratio katakan tadi. Betul juga yang ratio katakan. Mulai hari itu masa lalu selalu merenggut tawa pada mulutku. Kenangan telah bawa lari segala bahagiaku. Mulai hari ini, kesedihan menimpaku berkali-kali. Rindu akan selalu memberi sengat. Sepanjang perjalanan pulang, aku berharap angin membawa segala pilu dan ngilu dalam rinduku yang sebentar lagi menggebu. Aku mencintaimu lebih setiap hari, seperti matahari mengorbankan dirinya di bakar bara api. Demi mengusir gelap yang pekat pada tubuh bumi.

The Endl


Labuan Bajo, Desember 2023
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Mengikhlaskan

Perihal Mengikhlaskan  Oleh: Ehfrem Vyzty  Sudah lama sekali saya minggat dari rumah aksara ini. Bukan berarti saya bosan bercengkrama dengannya, melainkan karena begitu banyak ombak kesibukan mampir dalam diri. Tak kurang sedikitpun keinginan dalam diri juga untuk selalu bercerita tentang apa saja pada rumah ini, dan malam ini semua itu sudah tidak terbendung lagi. Saya harus mengisi sepi dengan sedikit aksara meskipun jauh dari kata sempurna. Kali ini bersama kopi yang sedikit lagi mati karena dingin, saya akan mengupas tentang " Perihal keikhlasan ".  Apa arti keikhlasan? Seperti apa itu keikhlasan?   Keikhlasan   berasal dari kata dasar ikhlas, yang berarti niat yang murni dalam diri untuk berbuat atau melakukan apa saja tanpa ada motif gelap yang tersembunyi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ikhlas berarti bersih hati, tulus hati. Dalam hal hubungan sesama manusia, ikhlas adalah memberi pertolongan dengan ketulusan hati. Dengan demikian maka dapat disimpu

Maira (Perempuan Memeluk Luka Dengan Pena Penuh Darah-Darah)

Maira, (Perempuan Memeluk Luka Dengan Pena  Penuh Darah-Darah ) Jam dinding terus berdenting seperti biasanya, sekelompok makhluk hidup nokturnal berkeliaran tanpa arah di tengah kegelapan malam. Sesekali potret tua yang tergantung rapi di dekat kanvas mulai mengayun kiri kanan diterpa angin. Hanya suara kenangan menghibur di tengah-tengah keheningan. Dua tahun silam, seorang manusia ditikam sadis oleh kesedihan abadi. Tak ada malam tanpa raungan keras. Segudang silet masih tertancap jelas di dada. Malam terasa sangat-sangat panjang yang ia rasakan. Malam itu, tepat seperti malam ini, ia kehilangan sosok yang begitu lekat dengan nadinya. Ibunda yang selalu membangunkannya tiap pagi, menyuapinya makanan lezat di kala raga terbaring letih, membasuhi luka-luka yang merembes darah di kala ia celaka kini pergi tak kembali barang sekali. Adakah kesedihan paling luas selain kesedihan seperti yang ia rasakan padamu? Tentu ia adalah manusia paling kuat. Mungkin kita yang masih lengk