(Perempuan Memeluk Luka Dengan Pena
Penuh Darah-Darah )
Jam dinding terus berdenting seperti biasanya, sekelompok makhluk hidup nokturnal berkeliaran tanpa arah di tengah kegelapan malam. Sesekali potret tua yang tergantung rapi di dekat kanvas mulai mengayun kiri kanan diterpa angin. Hanya suara kenangan menghibur di tengah-tengah keheningan. Dua tahun silam, seorang manusia ditikam sadis oleh kesedihan abadi. Tak ada malam tanpa raungan keras. Segudang silet masih tertancap jelas di dada. Malam terasa sangat-sangat panjang yang ia rasakan. Malam itu, tepat seperti malam ini, ia kehilangan sosok yang begitu lekat dengan nadinya. Ibunda yang selalu membangunkannya tiap pagi, menyuapinya makanan lezat di kala raga terbaring letih, membasuhi luka-luka yang merembes darah di kala ia celaka kini pergi tak kembali barang sekali. Adakah kesedihan paling luas selain kesedihan seperti yang ia rasakan padamu? Tentu ia adalah manusia paling kuat. Mungkin kita yang masih lengkap tanpa satupun kehilangan seharusnya bersyukur atas segala keadaan yang ada sekarang. Wanita itu adalah teman satu sekolahku ketika menginjakkan kaki di putih abu. Dulu, kami sering menggodanya ketika waktu rehat atau ketika pulang sekolah. Ia cantik. Setidaknya banyak laki-laki terhipnotis tatkala melihat ia berdiri anggun di bawah terpaan lembut sinar mentari. Senyuman yang terbit dari wajahnya membuat bunga-bunga di taman mendadak mekar. Tak satupun yang tau, mengapa sekarang semua itu mendadak sirna seperti bulan ditelan awan dengan tergesa-gesa. Muram sekali tentunya. Tiap kali membayangi dirinya dulu, aku seolah-olah dihinggapi kupu-kupu, tersenyum sendiri malu juga sendiri. Dulu aku begitu berangan-angan ingin menginginkannya. Bahkan dalam doa-doa aku selalu meminta Tuhan menua kami bersama-sama. Jam pelajaran terasa membosankan sebab keinginan berjumpa dengannya menjadi pelajaran paling penting di kepala. Aku mengerti apa yang terjadi. Aku tau apa yang harus ku lakukan padanya. Meskipun kini perasaan yang dulu sempat labuh telah sirna. Aku sudah bertekad menjadi jembatan untuknya menyebrangi air kali kesedihan. Aku sudah berjanji menjadi pagi dengan membawa segenggam kulit matahari untuknya. Dan yang membuatku bingung bagaimana memulainya? Bagaimana kalau semua itu sia-sia? Bagaimana kalau saja ia tak mau mengerti semua yang ku usahakan biar dia mengerti yang seharusnya dimengerti. Beberapa pertanyaan-pertanyaan itu terus menggangguku sampai-sampai kehilangan jam tidur. Untungnya aku berhasil. Segala usaha yang kulakukan tak sia-sia. Benar, semua yang diusahakan akan terwujud dengan iman dan amin yang penuh. Aku bahagia melihat senyuman yang sempat terbenam itu kembali terbit. Senyuman yang sering membuat bunga-bunga mendadak mekar di taman sekolah dulu kini terlihat lagi. Namanya adalah Maira. Perempuan kuat berhati baja. Memeluk luka dengan pena penuh darah-darah. Perempuan anggun memabukkan seperti anggur di musim dingin. Maira dinobatkan Ratu Bulan. Memang benar, Maira mirip bulan. Tanpa Maira, malam jadi siang penuh sial bagi semua yang bernafas. Maira... Maira... Ajari aku cara menangis tanpa bunyi, ajari aku tertawa tanpa suara-suara, ajari aku cara membasuh luka tanpa tisu menyusul mulus di tubuh. Maira... Aku menangisi kesedihan yang paling sedih untukmu sebelum tertidur pulas di bumi tanpa sakit-sakit.
Rtng, 9 Ag 24.
23:59
Komentar
Posting Komentar