Ia Bernostalgia Bersama Kopi Untuk Gadisnya
Oleh: Ehfrem Vyzty
Sebelum fajar menyengat gelap, ia telah membubuhi gelas dengan bubuk kopi hitam pekat. Ia tidak langsung menyeruputi air panas beraroma kopi hitam itu, ia hanya menikmati wangi khasnya. Sama seperti wangi gadis yang ia sayang dalam-dalam, namun pergi menghadap Sang Khalik berapa tahun silam, melalui penyakit sadis yang ia derita.
Kembali ke masa itu adalah hal tersulit dalam hari-hari hidupnya. Ia bisa saja menghapus itu dari memorinya, tapi tidak dari hatinya. Jika memang dipaksakan untuk melupa, maka hal pertama yang harus ia lakukan adalah berdamai dengan dirinya sendiri. Dirinya sendirilah yang berkuasa untuk menjahit segala luka yang ternganga lebar itu, bukan siapa-siapa!
Ia pun kembali menangis sejadi-jadinya.
Entah kenapa?
Setiap kali ia menyeduh dan mencium aroma kopi itu, ia selalu merangkul hujan dari langit-langit matanya yang teduh. Mungkin, karena gadisnya pergi membiarkan kopi panas itu dingin sendiri di cangkirnya yang putih, hingga air mata pun tiba-tiba berlabuh pada tepi pisah yang sendu.
Ia belum siap ketika harus berhadapan dengan kehilangan. Sebab, ia sudah terlampau nyaman dan bahagia dengan kehadiran. Ia mulai tampak lelah, nyaris pada titik menyerah.
Perlahan namun pasti, kopi hitam yang ia seduhkan beberapa menit lalu kini dingin membeku karena tak kunjung dikecup. Kopi itu kini dingin, sedingin kisahnya yang penuh sendu, membuat dirinya selalu roboh dan meringkih pada ruang-ruang sepi.
Kini, ia seperti ini lagi. Berdua dengan sepi, bertiga dengan kopi, seperti kata Aflino Umen salah satu teman SMA ku. Ia tahu persis, bahwa cinta yang putih tidak saja lahir dari mata yang menangis, tetapi juga dari jiwa yang perih. Ia juga tahu persis, bahwa segala hal yang pahit tidak semestinya dihindari, melainkan perlu juga untuk dinikmati. Sebab pahit dan manis tak dapat dipisahkan satu sama lain. Pahit tidak ada tanpa manis, manis juga tidak ada tanpa adanya pahit. Sama seperti kopi, terkadang aromanya membawa kenikmatan tersendiri bagi mereka-mereka yang suka bernostalgia. Karena aroma khasnya seringkali menciptakan hujan secara tiba-tiba tanpa memandang dan mengenal musim.
Sontak, sejenak setelah bercumbu dengan masa lalunya yang sendu. Ia tersadar, ia kaget lalu memukul dahinya yang kerut lalu “ Ahhh cangkir putih ini... Yah aku ingat, sebelum ia pergi tanpa pamit, ia terlebih dahulu mengecup ujung cantik cangkir putih ini. Barangkali, sidik bibirnya tertinggal di sini, pada lengkung cangkir kopi putih ini, sebelum rintihannya menjumpai akhir. Aku harus menyimpannya. Barangkali.... Seduhan teduh bibirnya itu bisa mengobati rinduku yang piluh yang tak lekas tuk kembali pulih?
Barangkali... Aku harus mengabadikan kecupannya itu, meskipun cangkir putih kecil ini menjadi saksi bisu Sekaligus bukti bahwa, kelakuannya itu adalah hal paling suci untuk lelaki yang ia cintai seluas langit sedalam lautan, sebelum ia pergi dan mati abadi dalam sunyi yang tak berujung".
Ia pun kembali menangis sejadi-jadinya.
Entah kenapa?
Setiap kali ia menyeduh dan mencium aroma kopi itu, ia selalu merangkul hujan dari langit-langit matanya yang teduh. Mungkin, karena gadisnya pergi membiarkan kopi panas itu dingin sendiri di cangkirnya yang putih, hingga air mata pun tiba-tiba berlabuh pada tepi pisah yang sendu.
Ia belum siap ketika harus berhadapan dengan kehilangan. Sebab, ia sudah terlampau nyaman dan bahagia dengan kehadiran. Ia mulai tampak lelah, nyaris pada titik menyerah.
Perlahan namun pasti, kopi hitam yang ia seduhkan beberapa menit lalu kini dingin membeku karena tak kunjung dikecup. Kopi itu kini dingin, sedingin kisahnya yang penuh sendu, membuat dirinya selalu roboh dan meringkih pada ruang-ruang sepi.
Kini, ia seperti ini lagi. Berdua dengan sepi, bertiga dengan kopi, seperti kata Aflino Umen salah satu teman SMA ku. Ia tahu persis, bahwa cinta yang putih tidak saja lahir dari mata yang menangis, tetapi juga dari jiwa yang perih. Ia juga tahu persis, bahwa segala hal yang pahit tidak semestinya dihindari, melainkan perlu juga untuk dinikmati. Sebab pahit dan manis tak dapat dipisahkan satu sama lain. Pahit tidak ada tanpa manis, manis juga tidak ada tanpa adanya pahit. Sama seperti kopi, terkadang aromanya membawa kenikmatan tersendiri bagi mereka-mereka yang suka bernostalgia. Karena aroma khasnya seringkali menciptakan hujan secara tiba-tiba tanpa memandang dan mengenal musim.
Sontak, sejenak setelah bercumbu dengan masa lalunya yang sendu. Ia tersadar, ia kaget lalu memukul dahinya yang kerut lalu “ Ahhh cangkir putih ini... Yah aku ingat, sebelum ia pergi tanpa pamit, ia terlebih dahulu mengecup ujung cantik cangkir putih ini. Barangkali, sidik bibirnya tertinggal di sini, pada lengkung cangkir kopi putih ini, sebelum rintihannya menjumpai akhir. Aku harus menyimpannya. Barangkali.... Seduhan teduh bibirnya itu bisa mengobati rinduku yang piluh yang tak lekas tuk kembali pulih?
Barangkali... Aku harus mengabadikan kecupannya itu, meskipun cangkir putih kecil ini menjadi saksi bisu Sekaligus bukti bahwa, kelakuannya itu adalah hal paling suci untuk lelaki yang ia cintai seluas langit sedalam lautan, sebelum ia pergi dan mati abadi dalam sunyi yang tak berujung".
Komentar
Posting Komentar