GLOBALISASI: MODERNISASI BUDAYA DANTANTANGAN BUDAYA LOKAL (Menyikapi secara kritis cengkraman Globalisasi)
TANTANGAN BUDAYA LOKAL*
(Menyikapi secara kritis cengkraman Globalisasi)
Oleh: Ehfrem Vyzty
Prolog
Term budaya berasal dari bahasa Sansekerta budhi dan daya yang dapat didefenisikan sebagai kekuatan akal budi. Budaya dapat diartikan sebagai bentuk keyakinan, nilai-nilai, tingkah laku yang dihasilkan oleh suatu Masyarakat untuk keberlangsungan hidup. Negara Kesatuan Republik Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan kebudayaan. Menurut data sensus BPS tahun 2010, Indonesia memiliki 260 juta penduduk, 1158 bahasa daerah yang teridentifikasi, 1340 budaya dan suku yang tersebar di setiap daerah, dan 17.000 pulau (Bernadus Raho: 2016). Setiap daerah mempunyai kebudayaan tersendiri yang tentu berbeda dengan budaya daerah lainnya (unik). Salah satu daerah yang kaya akan nilai kebudayaan adalah Manggarai. Dewasa ini, budaya Manggarai mengalami degradasi yang sangat signifikan. Budaya Manggarai saat ini mengalami benturan yang cukup hebat karena munculnya pola hidup modern yang mengalir dari dunia Barat. Budaya modern ini berhasil membawa transformasi pada setiap siklus kehidupan. Eksistensi budaya lokal (Manggarai) sudah tenggelam dalam lautan budaya modernisasi yang mewabah. Pergerakan arus modernisasi sangat cepat telah menggerusi berbagai macam bentuk kebudayaan tradisional daerah Manggarai yang dari dulu masih tersegel dengan baik dalam lingkaran kehidupan bermasyarakat.
Modernisasi Budaya Dalam Balutan Globalisasi
Tak dapat dipungkiri, ketakutan terbesar sebuah kebudayaan lokal dewasa ini adalah kepunahan. Globalisasi yang masuk telah meruntuhkan segala macam sekat pemisah dalam kehidupan nyata umat manusia tanpa terkecuali. Globalisasi hadir dan masuk dengan segala sesuatu yang serba baru dalam kehidupan sosial. Globalisasi menjadikan kebudayaan dapat berekspansi ke mana saja. Globalisasi adalah faktor utama ketakutan masyarakat dalam ranah budaya local yang dianuti. Karena dalam globalisasilah segala hal yang baru muncul, serba moderen, serba baru (modernisasi) dan sifatnya memaksa untuk dianuti. Globalisasi merupakan sebuah istilah yang kompleks dan tidak mudah diidentifikasi. Diskusi dan perdebatan seputar istilah ini pun masih terus berlangsung. Sebagian menaruh optimisme terhadap globalisasi, Sebagian lagi justru bersikap pesimis. Jean Baudrillard (1929-2007), seorang pemikir kelahiran Prancis menguraikan global dalam pertentangannya dengan universal. Universal, demikian Baudrillard merujuk pada Hak-Hak Asasi Manusia, kebebasan, kebudayaan, dan demokrasi, sedangkan yang global merujuk pada penyebaran teknologi, pasar, turisme dan informasi. Meminjam Allain Toffler, abad ini merupakan abad informasi (revolusi informasi). Arus informasi sebagai konsekuensi teknologi, telah menjalar liar di masyarakat. Tak satu pun orang yang dapat menahannya. Pertukaran budaya pun menjadi niscaya. Budaya-budaya akan melabur. Akibatnya budaya-budaya besar akan mendominasi budaya kecil, seperti budaya barat. Hegemoni barat telah memposisikan buadaya-budaya di luar Eropa untuk berafiliasi serta menghidupi corak barat. Corak barat yang dibangun dalam kerangka kerja hegemoni adalah melalui imperialisme budaya. Maka pada titik ini, kita melihat superioritas budaya barat yang disandingkan dengan budaya timur yang lebih inferior, mudah dipengaruhi.
Akibatnya kuasa dan superioritas barat, kita (baca: budaya asli Manggarai) tidak bisa terlepas dan melepaskan diri dari dominasi itu. kita terkungkung dalam suatu wacana kultur barat. Selanjutnya kultur asli semakin menghilang. Padahal, menurut Michel Foucault, kita memiliki kuasa untuk membongkar kemapanan atau ekspansi barat dengan mengkonsilidasi budaya-budaya lokal. Yang sangat disoroti dalam tulisan ini ialah budaya-budaya asli asli Manggarai (budaya lokal) dalam cengkraman modernisasi budaya yang menjalar di era globalisasi ini. Dalam hal positif, globalisasi telah banyak memudahkan pekerjaan masyarakat budaya Manggarai seperti pertama kemudahan banyak akses kebutuhan kebudayaan Manggarai contohnya atribut-atribut budaya Manggarai telah dimodifikasi oldeh alat-alat teknologi sehingga terlihat lebih menarik dan awet. Kedua, pola hidup yang serba teknologi memberikan manfaat waktu bagi masyarakat seperti sistem komunikasi semakin efisien dalam arti tidak membutuhkan tenaga yang ekstra untuk menghubungi satu sama lain ketika ada suatu pertemuan dan acara lainnya. Ketiga, globalisasi teknologi dan komunikasi mampu mempromosikan budaya Manggarai lintas negara dengan gampang. Namun, di samping semua keunggulan itu, keburukan-keburukan terus mewarnai panggung peradaban globalisasi dalam budaya Manggarai. Hal itu sangat kentara dalam beberapa uraian berikut pertama, terciptanya masyarakat individualistik. Pada situasi tertentu globalisasi biasanya menempatkan manusia sebagai individu. Letupan api globalisasi telah membakar animo kolektivitas masyarakat kebudayaan Manggarai. Banjir arus informasi telah membatasi ruang pergerakan manusia itu sendiri dalam budaya Manggarai. Kebudayaan masyarakat Manggarai dari system kebudayaan yang terbuka menjadi tertutup. Interaksi Face to face menjadi facebook to facebook. Orang lebih nyaman bersikap individu daripada kelompok. Kecendrungan ini sangat berpengaruh terhadap solidaritas orang-orang Manggarai. Kedua, derasnya arus informasi dan teknologi komunikasi telah menjadi sarana difusi budaya budaya yang ampuh, sekaligus alternatif hiburan bagi masyarakat luas. Akibatnya ada semacam pergeseran atraktif dari nilai-nilai seni tradisional yang sudah menjadi identitas kolektif budaya Manggarai. Sebagai contoh penggunaan alat-alat musik tradisional Manggarai jarang dan bahkan tidak digunakan lagi dalam acara adat Manggarai, padahal alat-alat musik tersebut jika dikombinasikan dengan kesenian buadaya Manggarai memiliki makna yang cukup berarti. Etika dan moral asli dalam budaya Manggarai sudah tergerus oleh berbagai sisi gelap globalisasi menciptakan modernisasi budaya yang gelap pula tentunya.
Bagaimana Cara Menghadapi Cengkraman Arus Globalisasi?
Pertama, lembaga agama dalam kaca mata agama katolik (Gereja). Peran Gereja selama ini nampak dalam praktek inkulturasi di mana bahasa Manggarai dipakai dalam lagu-lagu (Dere Serani), penerjemahan kitab suci ke dalam bahasa Manggarai, pemakaian bahasa Manggarai dalam Ekaristi, tradisi kepok dan juga tarian-tarian tradisional yang dimodifikasi untuk digunakan saat perayaan Ekaristi. Selain itu, wujud material juga nyata dalam penggunaan kain songke pada Ekaristi setiap Minggu ke-3 dalam bulan (Kanisius: 2019). Praktek-praktek yang integral dengan liturgi ini mesti dijalankan secara intens dan konsisten tanpa ada kompromi. Setiap imam dan umat wajib mengetahui dan mahir bahasa Manggarai asli. Kedua, lembaga Pendidikan. Upaya-upaya konkret yang dapat dilakukan lembaga Pendidikan antara lain: menjadikan mata Pelajaran muatan lokal (mulok) tentang budaya Manggarai sebagai mata Pelajaran wajib, mengadakan kegiatan pementasan tarian, perlombaan menyanyikan lagu bahasa Manggarai, mengikutsertakan siswa/I dalam karnaval yang mempertontonkan permainan caci dan peragaan busana adat Manggarai secara rutin. Ketiga, lembaga pemerintah. Upaya pemerintah dapat direalisasikan dalam penentuan kebijakan Pembangunan yang harus menyentuh budaya lokal, baik dari segi prinsip maupun tindakan. Implementasi Pembangunan yang nyata mendukung pelestarian budaya Manggarai seperti bangunan, festival budaya manggarai (tarian, lagu dan caci). Keempat, Lembaga seni (sanggar). Sanggar memiliki peran yang sangat sentral dalam melestarikan dan mempertahankan budaya Manggarai. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain: pewarisan tarian dan lagu asli Manggarai dan memodifikasi tarian dan lagu tersebut sesuai dengan jiwa aslinya, serta upaya pelestarian benda-benda seni seperti perlengkapan busana tarian, alat permainan caci, alat music melalui keiatan pementasan budaya secara berkala. Kelima, Lembaga adat. Upaya lembaga adat dapat diaplikasikan dengan cara: melaksanakn ritus-rirtus budaya sesuai musimnya selaras dengan maksud dan tujuan, menggalakan kenbali acara penti di setiap wilayah perkampungan, mementaskan caci, sae, ndundu ndake pada acara-acara besar komunitas adat. Sementara itu peran Lembaga adat juga nampak dalam usaha menyertakan anak-anak dalam upacara adat agar mereka juga memahami acara-acara tersebut misalnya melibatkan anak-anak dalam torok-torok (doa asli manggarai), mengenali susunan ritus-ritus dan mengetahui peran ritus dalam kehidupan manuisa serta membawa anak-anak ke pentas caci supaya sejak kecil mereka juga mencintai dan mengenal secara fundamental permainan caci.
Epilog
Kebudayaan Manggarai yang hidup di tengah realitas Globalisasi saat ini merupakan tantangan yang harus di hadapi secara kritis dan dengan sikap yang bijaksana oleh seluruh lapisan masyarakat. Globalisasi dalam segala kenyataanya telah menodai keperawanan budaya lokal yang imut dan cantik. Globalisasi secara ekstrem telah memaksa setiap individu dalam lapisan masyarakat untuk mengikuti gaya hidup yang serba modernisasi di dalamnya termasuk modernisasi budaya. Oleh karena itu, Penanaman kembali nilai-nilai asli budaya Manggarai juga menjadi sangat urgen melalui peran Lembaga agama, Lembaga Pendidikan, Lembaga pemerintahan, Lembaga adat dan juga sanggar itu sendiri. Masihkah kita hidup dalam cengkraman globalisasi, dan menerima segala sisi gelapnya? hemat penulis, kita mesti menyikapi atau menghadapi situasi ini dengan cara bijak dan kritis agar segala hal yang berbau gelap dari realitas arus globalisasi yang deras terhindar dari ranah kebudayaan lokal kita.
*Artikel ini meraih juara III dalam lomba menulis Esai SMA se-NTT di bawah tema: “PELUANG DAN TANTANGAN GENERASI MUDA DI ANTARA BUDAYA LOKAL DAN BUDAYA MODERN”. Lomba ini diadakan oleh DIVISI PUBLIKASI BEM INSTITUT FILSAFAT DAN TEKNOLOGI KREATIF LEDALERO.
Komentar
Posting Komentar