Bangkit Kembali Dari Kematian Singkat
Penuh Sesak
"Kalau saja aku mati cepat, aku ingin yang pernah melewati malam penuh dingin bersamaku segera menemui angin. Angin paling serius mendoakan keselamatanmu pada Tuhan, lebih dari arwah-arwah orang yang telah meninggal. Tidak usah kau pajang foto dengan berbagai ukiran indah atau kalimat padat makna sekalipun pada kuburan ku. Sederhana saja, seperti yang pernah aku berikan padamu selama kita bersama-sama"
Malam ini sama sekali tidak ada yang istimewa. Sama sekali tidak ada perubahan dari malam-malam sebelumnya. Masih sama saja. Sialannn... Keadaan seperti ini membuatku terus menghela napas panjang. Ingin sekali pergi dan tak kembali entah ke manapun itu. Ingin sekali hilang secara tiba-tiba tanpa iba dari ibu. Ingin sekali kehabisan darah dari raga tanpa gerimis keluar dari pelipis manis milik ayah.
Kalau saja aku diberi pilihan untuk hidup aku akan menolak keras dilahirkan. Awal mula aku mulai membenci diri sendiri saat aku mengenal apa itu kesedihan? Apa itu air mata? Apa itu tangisan?
Kebencian itu tumbuh subur saat aku melihat kesedihan, air mata, tangisan orang-orang yang ku cintai pecah gara-garaku. Seringkali dalam hari-hari hidup aku menolak diri dari semua hubungan, hingga waktu itu pandanganku terhadap semuanya berubah. Aku mulai menjalani hari penuh dengan keceriaan. Tak ada kesedihan. Tak ada air mata. Tak ada tangisan. Aku kira semuanya mudah, semudah Tuhan hadirkan aku ke dunia. Ternyata semuanya menambah piluh seluas laut. Kesempatan untuk merubah diri mendadak sirna dari kepala. Aku kembali seperti keadaan yang sudah-sudah. Hidupku tambah melarat melebihi hari lalu. Keteraturan menjaga diri sendiri hilang tak berbekas. Kadang marah pada Tuhan. Mengapa harus sesulit ini.
Jam dinding terus bergulir menuju dendam tak lekas. Kopi yang diseduh perlahan-lahan disulap menjadi objek penuh api menyala-nyala. Asbak yang tersimpan tak jauh dari raga dipenuhi puluhan puntung rokok sehabis dihisap. Tak terasa malam mulai menepi pada sunyi. Apa yang harus aku lakukan saat ini pada diri sendiri? Berbagai pertanyaan muncul begitu saja menghiasi kekosongan jiwa. Aku harus bangkit lagi dari jurang penuh duri menyedihkan. Tak ada yang peduli. Bukankah itu adalah cara paling suci mencintai diri sendiri? Persetan dengan sepi, persetan juga dengan kesendirian (tanpa teman).
Ketika pagi mulai jatuh pada semesta, aku baru tertidur. Mata terasa perih. Bayangkan, perih yang terasa pada mata terbawa jauh sampai alam bawa sadar. Ketika tersadar dari mati singkat yang panjang, jam sudah menunjukkan 05.30. Itu berarti aku baru bangun ketika matahari hampir tenggelam. Rumah terasa begitu sepi. Bunda yang setiap hari membuat bunyi-bunyian seperti lagu di musim kering di dapur entah bunyi piring yang gemerincing, atau panci yang mencaci-caci tak menunjukkan tanda-tanda bunyi. Sunyi senyap. Apakah bunda sudah muak melihatku terus seperti ini? Pertanyaan itu akhirnya menghantarkan ku pada jalan yang lurus. Aku mulai bangkit dari kasur, merapikannya lalu dengan tertatih-tatih memaksa kaki melangkah. Buku-buku yang berserakan tak terawat mulai dikecup satu persatu. Dulu aku memang cukup di bagian literasi. Tak heran ibu selalu bangga melihat nilai sastra ku menjulang tinggi. Hingga kejadian itu. Kejadian itu membuat ku lupa diri. Aku hampir melupakan apa yang paling akrab ku lakukan.
Lama berkutat dengan setumpuk buku di depan mata, tiba-tiba aku tertuju pada satu buku penuh debu. Buku itu adalah buku paling sering ku baca sebelum tidur ketika menjalin kisah asmara dengan si hawa itu dulu. Aksara-aksara yang tertata rapi di setiap lembar kebanggaannya menjadi obat mujarab mengusir insomnia yang seringkali menyerang. Aku mulai mengecup kembali aksara jingga pada buku itu. Apa yang tertulis dalam buku itu adalah puisi-puisi yang mempunyai nyawa. Mengapa mempunyai nyawa? Biar ku ceritakan mengapa puisi itu ku sebut sebagai puisi bernyawa.
Aku suka menulis puisi dulu, hingga setiap buku pelajaran yang ku punya hampir dipenuhi berbagai macam puisi di halaman belakangnya. Satu puisi yang paling aku ingat betul yaitu puisi berjudul "Apa yang mereka tahu tentang kita nadiku?" Jika kau membacanya kau pasti mengerti apa yang tersembunyi di balik puisi itu. Cahaya tentu saja muncul setelah kau membacanya. Puisi itulah yang ku maksudkan puisi bernyawa. Ada nyawa hawa yang telah hilang dari pandangan mata namun terlihat di hati melalui puisi itu. Tak berselang lama, seusai membacanya gerimis tiba-tiba jatuh tanpa aba-aba. Rupanya aku kembali menggugurkan bunyi berisik dari mata dengan wujud air mendidih kepanasan di bakar api kenangan. Aku memang seperti itu. Kadang-kadang melankolis. Kadang-kadang seperti awan di musim hujan. Selalu menangis tersedu-sedu di saat kenangan memeluk erat. Di tengah situasi itu, sontak aku sedikit shock ketika tangan selembut sutra melingkar indah di pundak. Bunda tiba-tiba mengusir gerimis dengan pelukan hangat khas yang ia berikan. Aku menoleh ke arahnya lalu membalas pelukan itu. Hanya ibu yang mengerti segala keadaan ku. Hanya ibu yang mampu membangkitkan kembali jiwa yang telah lama hilang. Jiwa yang berlarut-larut dihisap habis kesedihan panjang. Terima kasih bunda. Bunda menjadi rumah paling nyaman untukku terlelap tanpa perih menyelip dalam diri. Terima kasih bunda ku sayang. Bunda selalu melindas segala pilu dengan peluk tanpa cukup.
Kalau saja aku mati cepat, aku ingin yang pernah melewati malam penuh dingin bersamaku segera menemui angin. Angin paling serius mendoakan keselamatanmu pada Tuhan, lebih dari arwah-arwah orang yang telah meninggal. Tidak usah kau pajang foto dengan berbagai ukiran indah atau kalimat padat makna sekalipun pada kuburan ku. Sederhana saja, seperti yang pernah aku berikan padamu selama kita bersama-sama.
Rtg, 11 Agsts 24
Komentar
Posting Komentar