Memenggal Kenangan
"Laksana luka, ia akan mengeluarkan darah ketika tersayat oleh benda tajam. Seperti itulah aku. Harus mengeluarkan banyak darah karena sering terlambat mengistirahatkan raga demi untuk melupakan perempuan itu bersama segenap kenangan-kenangan indah bersamanya di hari lalu"
Beberapa tahun yang lalu ketika masih menginjakkan kaki di putih abu, saya mempunyai hubungan istimewa dengan seorang perempuan. Sebut saja namanya Yestin. Pertama kali melihatnya membuatku sedikit gugup. Kata-kata seperti tercekat begitu saja di tenggorokan. Getaran pada dada seperti gempa mengguncang semesta di musim hujan. Perasaan yang ku rasa sepertinya lain dari yang lain. "Aku tidak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya, anehhh" gumam ku sedikit bingung. Aku belum tau apa itu cinta, bagaimana jatuh ketika mengenalnya. Sama sekali belum paham tentang semua itu.
Aku sering menyanyi sendiri di dalam kamar mandi asrama, sehabis mengintip bayangan wajah perempuan itu di aula usai kegiatan MPLS. Banyak pertanyaan muncul begitu saja di kepala. Rasa bingung memenuhi ruang kosong sebagian jiwa akibat pertanyaan-pertanyaan yang berseliweran tanpa henti itu terus menghiasi pikiran. Siapakah perempuan cantik itu? Apakah ia merasakan hal yang sama padaku, seperti yang aku rasakan kepadanya? Hingga waktu pembagian kelas pun tiba, aku shock sekaligus bahagia sekali melihat ia memasuki ruang kelas yang sama denganku. Awalnya aku sedikit canggung di saat pandangan saling temu bertamu tanpa sengaja dalam kelas. Namun, aku tetap memaksa keadaan seolah-olah biasa-biasa saja. Aku tidak mau perempuan itu tahu secepat ini apa yang kurasakan padanya. Lama waktu berjalan, hari demi hari terlewati bersama, akhirnya kami mulai dekat satu sama lain. Aku mulai memperkenalkan diri kepadanya. Begitu juga sebaliknya. Ia mulai memperkenalkan diri penuh optimis padaku. "Brian'' ucapku lantang. "Yestin" balasnya sembari mengukir senyum bak lanskap jingga pada senja. Aku begitu terpesona. Mulutku betul-betul terkunci rapat. Suaranya, namanya, senyumannya sama saja. Sama-sama menggetardebarkan raga. Aku sempat pesimis kala itu. Aku merasa terlempar jauh ke ujung bumi. Aku merasa seperti duri pada tangkai mawar di depannya. Meskipun aku begitu terpesona padanya, pikiran tentang 'tak sepadan dengannya selalu saja mampir dalam diri. Karena selalu merasakannya, aku memutuskan untuk pelan-pelan membunuh perasaan yang tumbuh dengan subur. Ternyata aku berhasil. Meskipun mimpi buruk terus menghantuiku ketika mata mulai rehat dengan nyaman di bawah rinainya cahaya rembulan.
Hari-hari mulai berubah. Perasaan itu sudah benar-benar mati. Aku tidak merasakan apa-apa lagi padanya.
Tepat ketika menginjakkan kaki di kelas XII, perasaan itu mulai tumbuh kembali dengan sendiri. Kali ini, aku tidak kuat jika harus membunuhnya. Aku dengan berani mengungkapkan semua itu blak-blakan di depan Yestin. Dan puji Tuhan, aku memenangkan dilema itu. Ternyata dia juga sudah lama memendam perasaan yang sama padaku. Hari itu, aku bahagia sekali. Aku mulai menjalani hari dengan sedikit berbeda dari hari-hari sebelumnya. Sepulang misa di hari Minggu, aku menyempatkan diri menemuinya di taman depan Kapela di antara bunga pucuk merah berjuntai indah. Saling memberi salam menjadi keistimewaan di hari Minggu. Sebab mereka yang mempunyai gebetan pasti merasakan semacam digelitiki kupu-kupu pada perut. Apalagi kesempatan mengantar pacar menjadi momen yang di tunggu-tunggu. Meskipun jarak antar Kapela dan asrama putri cukup dekat, kami tetap setia melakukan itu setiap Minggu. Itu sudah semacam rutinitas yang wajib dilakukan.
***
Tidak terasa, waktu sebentar lagi berlalu. Cerita-cerita yang sudah dirajut penuh suka dan duka akhirnya jatuh juga di pundak perpisahan penuh gerimis ini. Tak ada yang mengerti mengapa semua itu terasa begitu cepat. Rasanya kemarin baru saling sapa. Hari ini tiba-tiba saling pamit dalam bahasa penuh pisah. Usai perpisahan di hari itu, kami mulai melewati hari yang sudah berbeda lagi dengan hari sebelumnya. Kami akhirnya memutuskan untuk tetap lanjut meneruskan hubungan istimewa ini dalam tanda kutip LDR (Long Distance Relationship). Rasa rindu untuk bertemu sepertinya datang bertamu tanpa melihat waktu. Bahkan sebelum menutup mata pun, rasa itu terus menerus ada. Kadang, menciptakan gerimis lebih menenangkan dari pada harus jujur mengatakan "Sayang... Aku rinduuu". Tidak ada yang lebih menenangkan selain itu. Liburan seharusnya bahagia bagi setiap orang, tapi secara tidak sengaja aku pelan-pelan mendekap lara. Tidak ada hari tanpa merindukannya. Tidak ada malam tanpa hujan sehabis begitu.
***
Waktu liburan akhirnya usai. Setelah melewati proses formasi yang cukup lama di lembaga calon imam, aku memutuskan untuk lanjut ke jenjang berikutnya. Aku melanjutkan pendidikan di penjara suci seperti yang lazim orang katakan (Biara). Biara tempatku akan menetap dan menimba ilmu tepat di ibukota negara (Jakarta). Perempuan yang 'ku anggap istimewa itu tidak mempermasalahkan soal pilihan yang aku pilih. Komitmen kami untuk terus bersama sangat kuat. Hingga dia juga memutuskan untuk berkuliah di salah satu kampus nomor satu di Indonesia yakni UI (Universitas Indonesia). Sesampainya di Jakarta, perempuan itu (Yesti) dengan penuh cinta ikut mengantarku langsung sampai di biara. Begitu besar cintanya padaku. Begitu lapang sayang yang ia persembahkan padaku. Dan oleh karena itu, ia relah seperti ini. Aku sudah menganggapnya lebih dari segala yang aku miliki. "Aku akan meninggalkan pilihan ini suatu saat nanti agar bisa bersamanya" batinku penuh optimis. Pertanyaan tentang kepastian untuk terus bersama sudah ku jawab terang-terangan padanya. "Aku akan meninggalkan pilihan ini nantinya" kataku saat itu.
Hari demi hari terlewati, kabar masing-masing perlahan redup. Menjalani hari tanpa menggunakan HP di tengah realitas yang membagongkan menjadi salah satu unsur hilangnya kabar satu sama lain. Hingga akupun memutuskan untuk keluar saja dari biara karena permasalahan tersebut. Ketika pertama kali membuka HP dan berseluncur di dunia maya (Media Sosial) yang ku punya, tidak sengaja aku melihat story Adam lain di salah satu akun medsos perempuan itu. Hatiku hancur berkeping-keping. Aku tidak menyangka ia akan melakukan hal seperti itu. Adam yang dia posting di akun medsosnya itu adalah kakak kelasku dulu waktu SMA. Aku seperti tersayat silet ketika mengetahui hal itu. Pandanganku beserta perasaan yang sangat istimewa mulai berubah menjadi penyesalan tanpa henti. Aku dikhianati. Saat itu, aku kembali memeluk gerimis. Pacaran bertahun-tahun harus berakhir sampai di sini. Keadaan sepertinya tidak berpihak denganku. Mulai hari itu, aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya dengan diam-diam. Segala yang pernah terlewati bersamanya terus menghantuiku ketika gelap menyengat semesta. "Aku harus mampu membunuh semua ini" batinku. "Aku tak akan mau mengenal cinta lagi".
Setelah kejadian itu, aku akhirnya memilih untuk meninggalkan Jakarta beserta kenangannya. Aku kembali merajut mimpi dengan caraku sendiri yang lebih dari kemarin. Dan tentunya aku tidak bisa di sini. Aku berkelana ke kota lain demi mimpi yang ku kejar sendiri. Persetan dengan Yestin. Persetan dengan rasa sayang, yang jujur saja masih membara dalam jiwa. Janji untuk menua bersama di hari depan selesai sudah gara-gara pengkhianatan paling keji yang ia lakukan padaku. Laksana luka, ia akan mengeluarkan darah ketika tersayat oleh benda tajam. Seperti itulah aku. Harus mengeluarkan banyak darah karena sering terlambat mengistirahatkan raga demi untuk melupakan perempuan itu bersama segenap kenangan-kenangan indah bersamanya di hari lalu. Selamat tinggal. Selamat mengenal bahagia-bahagia bersamanya tanpa sesal, tanpa sesak.
NB:
I wrote this short story specifically for my brother E. Y.
I hope you really feel entertained. Happy reading.
Rtg, 16 Agsts 24
Komentar
Posting Komentar