Max
Manusia Tabah
Kuat Seperti Baja-baja
Suatu pengalaman paling menyedihkan. Menggetardebarkan seisi jiwa dengan isakan tangis pelik.
Max, demikian namanya. Nama yang disematkan oleh ayah bundanya ketika masih belum cukup disebut sebagai bayi, dalam artian masih dalam kandungan raga sang bunda.
Max terlahir dari keluarga yang penuh kesederhanaan hidup. Segala sesuatu yang diinginkan harus terpendam jauh ke dasar hati yang paling bisu.
Semasa ia sudah cukup disebut sebagai anak-anak, Max tidak seperti anak-anak lain seusianya. Apa yang diinginkan bisa segera dipenuhi oleh orang tuanya.
Di usia yang masih tergolong belia itu, ia dengan gagah berjalan mendampingi ayahnya pergi mencangkul bulan di antara petak-petak sawah yang berjejer rapi di bawah bukit paling jauh dari tempat ia tidur dan terlelap melepas lelah di malam hari. Kadang-kadang, ia dan ayahnya tidur di bawah bukit itu saja kalau badan sudah tak mau lagi berdamai dengan nyala api yang masih membara dalam diri.
Ia tidak menyesali semua itu. Ia malah tidak henti-hentinya bersyukur pada Tuhan dalam setiap sujud yang ia lambungkan atas segala karunia dan keadaan yang ia nikmati. Meskipun harus berdarah-darah.
Hari-hari dilaluinya dengan penuh semangat. Jalan sempit yang mengitari bukit-bukit menuju ladang tempat ia berhasil bertahan hidup terus ditapaki setiap pagi ketika pergi, dan setiap senja ketika ia mulai lelah dan memutuskan untuk kembali pulang. Namun ia tidak merasakan kebosanan dalam melakukan rutinitas tersebut. Padahal sehari-hari ia melakukannya.
Ayahnya sudah tak kuat lagi melangkah. Meski satu saja. Meskipun dengan bantuan tongkat pemberian anaknya (Max) sendiri. Keadaan itu membuat Max menambah beban yang berat. Menambah tanggung jawab yang besar untuk keluarganya yang tergolong penuh kesederhanaan hidup. Sekali lagi, itu tidak membuat Max menyerah begitu saja dari kerasnya hidup di semesta yang kadang tidak adil.
Satu yang kita lupa, bahwa untuk menjadi bintang kau mesti tahan banting. Untuk menjadi tuan, kau harus mengiyakan orang-orang besar bertahun-tahun. Tapi, itu semua tidak semestinya menjamin untuk kau hidup dan mampu menginjakkan kaki di atas awan pada langit-langit yang berkilauan. Kadang juga, langit yang berkilau harus berubah mendung. Gelap. Pekat. Biar hidup di dunia bisa terus bertumbuh dan berlanjut entah sampai kapanpun itu.
Tiba pada suatu malam yang penuh bunyi gerimis menyentil genting rumah dengan keras, ayah dan bunda Max pergi menghadap sang khalik bersama-sama. Max sangat berkabung bertahun-tahun atas insiden menyakitkan itu. Wajah penuh cinta dan kasih sayang orang tuanya selalu menukik tajam di benak Max. Namun, di balik peristiwa itu Max menyadari bahwa cintalah yang mampu membuat keadaan bisa terjadi secara real tanpa kata mungkin seperti itu. Buktinya, orang tuanya sendiri. Hidup bersama. Mati juga bersama. Di depan kematian, kesementaraan hidup mencapai kepenuhannya. kematian adalah tidur yang paling nyenyak. Di depan kematian, siapa saja yang meratapinya diminta untuk hening meski sambil melahirkan gerimis. Untuk itu, cara terbaik mengikhlaskan orang yang pergi dalam keabadian yaitu dengan penuh iman menyadari bahwa yang mati akan mendapat sukacita kekal, dan yang ditinggalkan pasti akan didoakan oleh yang telah mati itu seperti kata Fredy Sebho dalam bukunya yang berjudul "Arkeologi Kebisuan".
Berkabung atas kematian barangkali boleh dibilang sebagai sebuah letupan perasaan yang paradoksal. Di satu sisi membutuhkan keikhlasan untuk menerima bahwa kekurangan yang paling ultim dalam kehidupan adalah kematian. Dan di sisi lain adalah kesetiaan untuk tetap mengenang orang yang telah pergi itu meskipun tanpa berharap akan kembali lagi. Untuk itu, berkabung bukanlah sesuatu yang harus tergesah-gesah dituntaskan. Berkabung adalah momen untuk merayakan waktu dan kenangan yang telah tiada. Untuk itu juga, yang paling dibutuhkan dalam berkabung adalah kesediaan untuk menerima sebuah kehilangan. Itu merupakan kutipan yang sangat memberikan pencerahan dari si pemilik buku "Arkeologi Kebisuan" itu (Fredy Sebho).
Setelah hampir mencapai hitungan abad Max hidup dalam keadaan seperti itu, ia akhirnya memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya dan pergi merantau. Bukan berarti ia pergi untuk melupakan segala kenangan di tempat kelahiran, di tanah tumpah ruah darahnya itu. Ia pergi untuk merajut mimpi yang lebih tinggi dari orang tuanya meski usia sudah mulai menua.
Ia akhirnya pergi tepat pada hari Senin, 07-07-1997 tepat pada pukul 07:00. Ia pergi berlayar sendiri membelah samudera. Pergi menanjak sendiri di bukit-bukit asing. Pergi terbang sendiri di langit-langit sunyi. Ia berharap menjumpai Tuhan dalam perjalanan itu. Agar ia bisa menemuinya ayah bundanya.
Hal yang tak terduga terjadi. Bencana datang begitu saja. Di tengah perjalanan itu, ia mengalami musibah. Kapal yang ditumpanginya diterjang ombak besar hingga tenggelam.
Harapannya untuk bisa memetik rembulan di hari lalu sia-sia sudah. Tuhan lebih mengingini rembulan antik di hatinya. Tuhan terlampau jatuh cinta pada jiwanya yang berkilauan indah bak mutiara.
Max akhirnya mati dengan istimewa. Terkubur di lautan luas penuh keindahan. Ia akhirnya mencapai entitas tertinggi kehidupan. Mampu menembus ruang dan waktu tanpa sedikitpun halangan berhalaman seperti dalam buku-buku aksara berisi romansa. Jejak-jejak petualangan hidupnya kini menepi sepi pada kematian. Max manusia paling tabah dan kuat seperti baja itu sudah tenang dalam istirahat yang kekal.
Rtg, 4 Sep 24
Komentar
Posting Komentar