Merayakan Kematian Bising Paling Teduh
dalam Diri
menyenangkan, yang menyedihkan, yang membingungkan membingkai dalam jiwa.
Pernah suatu hari ketika alam mulai diselam gelap, aku tiba-tiba tak mampu menahan getaran aneh dalam dada. Aku ingin sekali bertemu dengan sesosok raga yang menurut ku paling istimewa di bumi setelah ayah dan ibu. Hingga aku akhirnya memutuskan untuk datang ke tempat di mana ia berdomisili. Tak ada yang mampu menahan segala kehendak hebat seperti itu, paling tidak itu adalah apa yang terdiam dalam-dalam dalam kepalaku sendiri. Setibanya di tempat itu, aku akhirnya merasakan suasana yang sangat istimewa pula. Aku merasakan semacam "revolusi nadi". Tidak seperti sebelumnya pernah aku rasakan. Cepat sekali.
Membelah waktu di tengah kegelapan dan dinginnya semesta pada malam hari dengan seseorang yang kita anggap istimewa merupakan suatu momentum yang sangat langka bagi orang seperti saya. Tidak tahu bagaimana harus memulai. Bagaimana harus mengakhiri.
Untungnya saya berterima kasih yang berlimpah kepada Pencipta atas segalanya. Momentum yang begitu langka itu terjadi begitu saja tanpa perencanaan sebelumnya. Malam itu tidak ada niat dalam diri masing-masing untuk keluar rumah menikmati bintang dan riuh semerbak aroma kota.
Saya masih ingat betul, bagaimana ketika suaranya melantun syahdu di telinga. Bagaimana ketika bibir menyentuh lembut di pipi masing-masing. Bagaimana ketika hangat tubuhnya membekas erat sehabis dipeluk tanpa disadari akhirnya kita pelik dan sulit seperti ini. Satu hal yang masih membuat ku bangga denganmu yaitu ketika kau mengangguk saat aku mengajakmu ke rumah sunyi paling suci di kota dingin itu. Mungkin kau begitu bosan dan ingin cepat pergi dari tempat itu. Sebab kau menunggu ku terlalu lama di dalam tempat itu. Tanpa kau tau, aku melambungkan berjuta-juta keinginan untuk menua bersamamu di hari depan kepada Tuhan. Hampir-hampir aku lupa mendoakan keselamatan ku sendiri untuk lama menginjakkan kaki di bumi.
Aku masih ingat bibirmu ketika kau merapal doa pada Tuhan. Entah apa yang kau curhat pada-Nya malam itu. Sedikit aku merasa terlempar jauh ke jurang terdalam diri sendiri. Membayangkan betapa egoisnya aku membiarkanmu meneteskan berlusin-lusin air mata. Betapa sialannya aku membuatmu harus mengikuti apa yang aku mau. Bayangkan saja, kita ditelan dingin angin malam itu. Mungkin sekarang aku akan berhenti melihat malam terbit lagi pada bumi. Bukan dingin angin yang menerpa tubuh kita saat berdiri di atas bukit atau lembah-lembah, atau di pinggiran pantai-pantai. Melainkan dingin pada masing-masing jiwa. Dingin iman, dingin sayang, dingin cinta. Itu yang aku maksud dalam coretan kecil ini.
Masihkah kau ingat, betapa bisunya aku ketika menyaksikan tatapan matamu? Masihkah kau ingat ketika aku menyetir sepeda motor lalu kau mengusir dingin dengan memelukku? Setidaknya satu yang kau ingat jika kau harus menerima kenyataan diterpa amnesia berkepanjangan. Kita tentu saja berbeda. Dari cara mengkritisi sesuatu sampai pada mengkritisi masing-masing diri sendiri. Aku tidak seperti apa yang kau kenal dari ayah, ibu, saudara/i yang selalu menemani mu sampai kini kau bisa mengejar mimpi di tempat asing. Kita berbeda semuanya. Cara kita memandang sesuatu juga menjadi alasan kita semakin renggang. Pernah aku berpikir untuk menyudahi saja semuanya. Tapi, perasaan sayang terlalu besar untuk ku beranikan diri mengambil keputusan itu. Akupun berusaha sendiri untuk menghapusnya segera setelah menyadari itu. Bahwa rasa yang ada sepertinya bertambah seiring bertambahnya usia.
Kita pernah menghabiskan malam dengan sleep call berjam-jam. Menghabiskan waktu dengan saling rilis sayang masing-masing. Bahkan, kita pernah menangis bersama-sama ketika di terpa rindu.
Sekarang aku akhirnya menyadari bahwa itu semua tidak akan terjadi di antara kita. Melihat terang semakin redup, menjadi alasan kuat untukku berani memutuskan mana yang terbaik untuk kita. Aku harus menjelma batu kali. Memeluk dingin sendiri. Mengecup lumut sendiri. Memeluk mata air sendiri. Mengekalkan diri dengan kesendirian tanpa titik.
Selama aku masih bisa bernafas. Aku selalu menulis keindahan yang tak pernah sudah tentangmu. Untukmu. Abadi. Untukmu. Yang terakhir kali.
Terima kasih....
Rtg, 03 Sep 24
Komentar
Posting Komentar